Work From Home dan Sebuah Kecemasan

Posting Komentar
Per 21 April 2020, sudah ada 7.135 yang positif Coronavirus. Apalagi bulan Ramadhan sebentar lagi akan bertamu. Kita tidak bisa mengetahui secara pasti kapan wabah itu aan berakhir. Terlebih lagi seluruh aktifitas masyarakat, khususnya saya pribadi harus dibatasi. Jadi semua pekerjaan atau tugas kuliah harus dikerjakan dari rumah.
Work From Home dan Study From Home adalah solusi yang bisa dibilang cukup efektif dalam menahan angka-angka tersebut. Kita berupaya untuk membuat kurva persebaran virus seyogia mungkin dilandaikan. Artinya, dengan upaya-upaya tersebut kita juga menjadi pahlawan bagi tenaga-tenaga medis yang bekerja keras menangani kasus tersebut.
meja kerja zul
Meja kerja saya yang agak berantakan (sumber: dokumentasi pribadi)

Suatu hari, ketika mulai bosan berada di antara sudut-sudut kamar. Saya bosan karena setiap hari bertemu dengan sarang laba-laba (sekarang sudah bersih) dan makhluk kecil yang setiap malam mengganggu tidur. Setiap hari (eee... tidak setiap saat juga), pekerjaan yang semestinya dikerjakan di luar rumah sebisa mungkin dilaksanakan di dalam rumah (di kamar khususnya). Seperti rapat atau musyawarah. Bahkan rapat yang berskala besar juga harus dilaksanakan di dalam rumah. Tidak lupa pula dengan skripsi saya yang ... begitulah.
Hari Rabu, 22 April 2020 pukul 14.45 WITA, suara hujan turut menemani di setiap kegiatan—bukan berarti hujan ada di... hujan tidak boleh Work From Home. Atap rumahku bukan genteng, tapi seng (di sini sebutnya begitu). Makanya suaranya sangat jelas kedengaran. Ya cukup, sebenarnya bukan hujan yang mau dibahas. Tapi di kepala sekilas memikirkan hal itu. Jadi mau apa lagi kalau bukan tentang hujan (dan WFH). Allahumma Shayyiban Naafi’an.
Andai bukan karena WFH ini, mungkin saya sudah ada di forum besar itu. Lebih baik begitu memang. Daripada kuota 4GB habis dalam waktu kurang dari 4 (empat) hari. Tapi tak mengapa, lagipula kuota itu tidak digunakan untuk hal yang sia-sia. Daripada 4GB habis hanya untuk menonton tarian orang terbang sambil loncat-loncat. Intinya, kuota saya habis untuk hal yang tidak sia-sia—walaupun masih lebih efektif jika kegiatan tersebut dilakukan secara langsung tanpa harus diperantarai oleh perangkat digital.
Soal skripsi? Hmmm... Susah dijelaskan. Yaaa... kalian sudah tahu pasti hal yang dirasakan mahasiswa tingkat akhir. Revisi menumpuk, teori bagaimanalah, data penelitian harusnya bagaimanalah, cara menulis latar belakang, cara buat kajian teori, cara buat daftar pustaka, cara cek plagiasi, yaa seperti itulah. Yang lebih mencemaskan ketika alarm sudah memperingatkan saya tentang “kapan kapan” itu. “Kapan selesai KKN?”, “Kapan selesai skripsi?”, “Kapan seminar?”, “Kapan nikah?”. Oh, kayaknya yang terakhir belum ditanyakan, maap.
Intinya, saya memutuskan untuk sebisa mungkin menghindari perilaku kaum rebahan. Berhubung tempat tidur hanya berjarak beberapa senti dari meja kerja. Mau apa lagi, terkadang saya harus puasa rebahan kalau ada pekerjaan yang belum diselesaikan. Sebisa mungkin saya membuat jadwal agenda agar tidak kebingungan ketika ingin mengerjakan sesuatu.
Mungkin hal ini biasa-biasa saja, tidak ada yang spesial. Yang membuat spesial mungkin karena perspektif kita ketika berkomparasi dengan hal yang terjadi dalam diri masing-masing.
Perasaan tadi mau tutup tulisan, tapi tidak bisa tertutup-tutup. Oh, anggap saja tulisan ini sudah ditutup. Oke. Wassalam.

Related Posts

Posting Komentar