Tempat Print Bungoro dan Cerita yang Masih Terpendam

Posting Komentar

Tempat print yang berada di Bungoro menyimpan berbagai cerita, termasuk tugas-tugas sekolah yang diberikan guru pada waktu itu. Lokasinya berada di sekitar perempatan Bungoro. Di sebelah barat, ada masjid yang kini tampaknya sudah direnovasi bagian depannya, walau dari belakang tampak masih seperti biasa saya temui dulu. Di sebelah timur adalah jalan poros Tonasa, yang juga merupakan lokasi SDN 2 Lejang dan SMPN 1 Bungoro, sekolah saya dulu. Di sebelah Utara adalah arah menuju Kabupaten Barru. Sedangkan sebelah selatan adalah jalan poros Pangkep-Maros.

Perempatan Bungoro
Perempatan Bungoro tampak lengang. Foto oleh Zul Fitrah Ramadhan/Tulisan Zul.

Semua orang pasti punya kisah dengan suatu lokasi. Entah itu lokasi yang erat kaitannya dengan urusan kebutuhan manusia pada umumnya, sampai pada urusan "asmara" dan  lain sebagainya. Barangkali, ada yang masih mengingat itu semua. Atau mungkin saja ada yang sudah lupa dengan nostalgianya dengan suatu tempat.

Jumat, 28 Mei 2021. Sekitar pukul 20:31 WITA. Saya kembali berkunjung ke tempat print itu. Kali ini bersama mamak, adek, dan keponakan yang masih menginjak 2 tahun. Tempat tersebut tampaknya masih sama seperti dulu. Saya ingat waktu itu, ketika saya masih kelas XI SMK. Saya diberi tugas menyusun pembukuan akuntansi perusahaan dagang. Saya waktu itu ingin print berbagai keperluan untuk tugas tersebut. Dimulai dari blangko jurnal umum dan khusus, buku besar, neraca saldo, jurnal penyesuaian, kertas kerja, jurnal penutup, dan jurnal pembalik. Kertas kerja adalah lembar yang paling sulit diprint.

Tempat Print Bungoro
Di "tempat print" bersama mamak (kiri), adek (kanan), dan keponakan (tengah). Foto oleh Zul Fitrah Ramadhan/Tulisan Zul.

Ingat saya, flashdisk yang kugunakan waktu itu bermerek Kingston. Warnanya merah, memakai penutup besi tanpa perlu dilepas, kubeli di salah satu toko HP. Tidak usah tanya di mana barang itu sekarang. Flashdisk itu sudah rusak. Konektor USB nya sudah lepas. Mungkin bisa disolder. Namun tak pernah kugubris.

Tempat print bukan hanya satu di situ. Ada sekitar 2-3 tempat print, lengkap dengan tukang fotokopi. Ada yang hanya bermodalkan laptop, tapi ada juga yang sudah memiliki komputer desktop, walaupun spesifikasinya mungkin hanya mampu untuk mengurusi keperluan cetak-mencetak.

Masjid Besar Bungoro
Masjid Besar Bungoro yang berada di depan tempat print. Foto oleh Zul Fitrah Ramadhan/Tulisan Zul.

Paling sering saya ke tempat print waktu kelas XII SMK. Sudah barang tentu begitu karena waktu itu sudah dekat dengan Ujian Nasional (UN) dan Ujian Kompetensi Kejuruan (UKK), yang sudah berbasis komputer. Jadi, Kebutuhan print mengeprint tentu meningkat. Mulai dari soal-soal latihan UN, sampai soal latihan UKK beserta perangkat jawabannya. Mungkin orang situ sudah hafal dengan muka saya. Atau mungkin tidak, karena bukan cuma saya yang sering ke situ. Tapi setidaknya saya sudah hafal wajah mereka, walau tidak begitu berguna bagi saya menghafalnya

Sampai tiba waktunya, alhamdulillah saya sudah dinyatakan lulus. Namun, urusan saya dengan tempat print belum berakhir begitu saja. Masih ada keperluan lain yang jauh lebih penting. Mengurus pendidikan lanjutan. Awalnya saya mendaftar di Politeknik Negeri Ujung Pandang (PNUP) berikut juga dengan pendaftaran SNMPTN. Barangkali bisa ditebak keperluan apa yang saya butuhkan? Ya, bukti pendaftaran dan tentu saja pas foto 3x4 sebanyak 3 lembar.

Awalnya saya berharap saya bisa lulus seleksi SNMPTN. Nahas, saya tidak lulus. Mungkin bukan rejeki saya bisa mendaftar di UNHAS, salah satu pilihan saya di situ. Namun, kabar mengejutkan waktu saya mengecek pengumuman hasil seleksi saya di PNUP. Saya dinyatakan lulus. Namun, nahasnya lagi, saya mengundurkan diri karena ternyata saya tidak terdaftar sebagai peserta Bidikmisi. Bidikmisi adalah salah satu bantuan beasiswa yang menggratiskan seluruh keperluan UKT kampus, termasuk di dalamnya bantuan uang tunai sebesar 4,2 juta Rupiah tiap semester (setiap kampus mungkin memiliki nilai yang berbeda). Saya masih ingat nominal pembayaran UKT di PNUP waktu itu, yakni sebesar Rp 1.750.000. Awalnya saya ingin menerima saja, tapi mungkin satu dua semester ke depan akan kesulitan memenuhi angka tersebut.

Lanjut cerita, saya mendaftarkan diri di STMIK AKBA Makassar. Saya memilih jurusan komputerisasi akuntansi, karena saya suka komputer. Sama halnya dengan kejadian sebelumnya, kami, saya dan orangtua saya, menolak kembali kuliah di situ. Sebab kami masih tidak sanggup juga membayar.

Sampai akhirnya saya jatuh pada pilihan terakhir, harapan terbesar saya yang masih tersimpan. Saya mendaftar SBMPTN dengan memilih tiga pilihan program studi di berbagai perguruan tinggi. Saya memilih Universitas Negeri Makassar sebagai pilihan tunggal. Waktu itu saya memilih program Studi Pendidikan Akuntansi pada pilihan pertama. Lalu lanjut program studi Sastra Indonesia dan Fisika pada pilihan kedua dan ketiga. Lucu memang. Kenapa saya memilih Sastra Indonesia pada salah satu pilihan. Kalau yang dua itu, masih wajar. Karena keduanya sama-sama merupakan latar belakang saya. Fisika karena saya suka pelajaran itu dan pernah ikut Olimpiade Sains Nasional tingkat Kabupaten. Sedang Pendidikan Akuntansi karena saya berlatar belakang jurusan Akuntansi di SMKN 1 Bungoro (sekarang SMKN 1 Pangkep).

Saya mendaftar SBMPTN dengan jalur Bidikmisi. Setelah saya menjalani berbagai proses seleksi, tibalah pengumuman itu. Alhamdulillah saya dinyatakan lulus SBMPTN. Sastra Indonesia. Ya, pilihan kedua itu ternyata lebih berpihak ketimbang yang dua itu.

Lantas, di mana cerita tempat print nya? Selama proses pengurusan berkas pendaftaran, saya tentu banyak berurusan dengan tukang print tersebut. Tibalah saatnya pada proses seleksi Bidikmisi. Saya ke tempat print untuk mencetak formulir Bidikmisi, lengkap dengan foto rumah dan berbagai fotokopi lainnya. Kala itu, barulah saya diajak ngobrol sama tukang printnya.

"Oh di Unem ki lulus? Tawwa, Bidikmisi poeng," katanya,  Oh kamu lulus di UNM? Mantap, Bidikmisi lagi. Ia menyebut nama universitas itu dengan ucapan yang disesuaikan dengan kultur setempat. Saya lantas jawab "Iye, luluska di situ." Wajah saya sedikit senyum mendekati datar. Bukan soal sombong. Tapi memang saya lebih suka berbicara dengan ekspresi yang tidak berlebihan.

Sampai saat ini, saya masih menyandang status sebagai mahasiswa. Lebih tepatnya mahasiswa akhir. Ya, mahasiswa akhir yang belum ada tanda-tanda akhir... perjuangan. Skripsi sampai saat ini masih dalam genggaman. Belum bisa dijilid seperti skripsi yang lain. Namun, saya masih bersyukur bisa tahu rasanya jadi mahasiswa. Soal tempat print itu? Sekarang saya sudah punya printer sendiri. Namun, tempat itu masih menyimpan cerita yang bagi saya punya... cerita sendiri. 

Related Posts

Posting Komentar